Sanksi Keterlambatan Atau Tidak Menyampaikan SPT

Melakukan pelaporan SPT merupakan kewajiban bagi setiap wajib pajak pribadi maupun badan. Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan laporan pajak yang disampaikan oleh setiap Wajib Pajak kepada pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menegaskan bahwa pemerintah mengharuskan seluruh Wajib Pajak untuk melaporkan SPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila SPT tidak dilaporkan tepat pada waktunya maka akan dikenakan sanksi berupa denda.  Ada 2 macam kewajiban wajib pajak terkait dengan SPT ini, yakni:

  1. Melaporkan masa SPT Bulanan Pajak
  2. Melaporkan masa SPT Tahunan Pajak (terdiri dari PPh Badan dan PPh Orang Pribadi)

Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan SPT

Batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lambat 3 bulan setelah batas akhir tahun pajak, yaitu hingga tanggal 31 Maret. Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak, yaitu tanggal 30 April.

Sanksi Denda Bagi yang Telat/Tidak Lapor SPT

Berdasarkan ketentuan UU No.28/2007 perubahan ketiga atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka ditetapkan bahwa sanksi yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut:

  1. Seorang wajib pajak pribadi yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan PPh 21 akan dikenakan denda sebesar Rp100.000
  2. Bila wajib pajak Badan/Perusahaan terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan PPh 22 akan dikenakan denda sebesar Rp1.000.000
  3. Sanksi administrasi untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp500.000
  4. Denda untuk Surat Pemberitahuan Masa Lainnya sebesar Rp100.000

Pengecualian Denda

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/2018 tentang perubahan atas PMK Nomor 243/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT), terdapat 8 jenis Wajib Pajak yang tidak dikenai sanksi, yaitu:

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah meninggal dunia.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki kegiatan usaha atau sebagai pekerja bebas.
  3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia.
  4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia.
  5. Bendahara yang tidak lagi melakukan pembayaran.
  6. Wajib Pajak Badan yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha, tapi usahanya belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  7. Wajib Pajak yang sedang terkena bencana, dimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
  8. Dan Wajib Pajak lain dalam keadaan terjadi kerusuhan massal, kebakaran, ledakan bom/aksi terorisme, perang antarsuku, kegagalan sistem informasi administrasi penerimaan negara, atau keadaan lain berdasarkan pertimbangan Dirjen Pajak.